dan masih banyak lagi. Akan tetapi, obat ini sulit ditemukan.
Tanggal 2 Juni 2000, sebuah tragedi terjadi. Seorang ahli oftalmologi, Aris Rizal, meninggal dunia karena kecelakaan dalam perjalanannya dari Surabaya ke Jakarta.
Setelah meninggalnya ilmuwan tersebut, para staf di pusat Badan Otonom belum mengetahui soal obat baru yang pada saat itu sedang dalam tahap akhir uji coba klinis yang bisa membuktikan efektifitasnya. Maka dimulailah pencarian atas penelitian sang ahli yang diwariskan itu. Pusat Badan Otonom tersebut pun tenggelam dalam "perang saling menghancurkan".
Dalam waktu singkat (mengingat tingginya efektivitas obat tersebut), formula sang ilmuwan kemudian dibeli oleh perusahaan oftalmologi Swiss dan dalam waktu dua tahun obat mulai diproduksi dengan nama lain.
Pada tahun 2019, berkat usaha istri sang ilmuwan dan kepala Badan Otonom Penyakit Mata dan Terapi Jaringan, Allisa Ratnasari, dengan perjuangan yang luar biasa akhirnya dapat melindungi paten dan membawa formula itu kembali ke Indonesia. Bagaimanapun, proses produksi obat tersebut sudah mengalami beberapa perubahan. Produksi obat sudah tidak memakai teknologi lama untuk mengambil ekstrak tanaman, namun sudah digantikan dengan teknologi terbaru yaitu ekstrasi dingin. Dengan teknologi ini, efektifitas obat dapat ditingkatkan hingga 47% (ekstrasi dingin mempertahankan zat-zat aktif dari tanaman hingga 3-5 kali lipat). Obat yang sudah dimutakhirkan ini dinamakan "Eyelab".
Menurut para ilmuwan dan tenaga medis, dalam 97% kasus penyakit mata yang ada, 100% dapat diobati dengan "Eyelab" tanpa operasi!
"Pengobatan dapat dilakukan di rumah. Anda hanya perlu menggunakan obatnya 2 kali sehari selama 3-6 minggu. Setelah beberapa hari pemakaian, Anda akan mendapati penglihatan yang lebih baik," ungkap salah seorang ahli mengenai obat itu yang turut menandatangani surat terbuka.