• miopia,
• glaukoma,
• katarak,
• radang saraf optik,
• neuritis optik,
• uveitis,
• chorioretinitis,
• ablasi retina,
• kekeruhan kornea,
• peradangan kelopak mata,
• konjungtivitis,
• retinitis pigmentosa,
• keratitis.
Dan banyak lagi. Namun begitu, pasien dalam negeri tak pernah berkesempatan untuk menggunakannya.
Pada tanggal 2 Juni 2000, sebuah tragedi terjadi: Dr. Jeevanan Jahendran meninggal dunia dalam kecelakan helikopter bersama dengan tiga orang pilot.
Setelah kematian sang ilmuwan, para staf-nya tidak mampu menyelesaikan obat baru itu, yang pada saat itu mencapai tahap uji coba klinis yang hasilnya sangat positif. Yang terjadi malah mereka saling berebut mencoba mengklaim kepemilikan obat peninggalan sang ilmuwan hebat itu. Saat inilah periode gelap penuh intrik dan konflik dimulai.
Inilah saat ketika sebuah perusahaan Swiss, yang mengetahui keampuhan formula itu, membeli hak atas formulanya dan 2 tahun kemudian menyiapkan produksinya, tapi kali ini dengan nama berbeda.
Baru pada tahun 2015, berkat upaya dari istri dokter Jeevanan Jahendran, negara kita bisa mendapatkan kembali hak atas formula itu. Namun, sekarang ini, proses teknologi sudah berbeda. Ekstraksi nutrisi dari tanaman yang sudah ketinggalan zaman digantikan oleh teknologi ekstraksi dingin terbaru, yang tidak tersedia pada tahun 90-an. Ini membuat efektivitas formula ini meningkat 47% karena ekstraksi dingin memungkinkan pengawetan yang lebih baik, hingga 3-5 kali lipat, mengawetkan berbagai zat aktif biologis penyembuh yang berasal dari tanaman. Obat yang dikembangkan ulang ini diberi nama “Eyelab”.
Menurut para ilmuwan dan dokter, dalam 86% kasus gangguan penglihatan, “Eyelab” memungkinkan pasien untuk mendapatkan kembali penglihatan 100% tanpa operasi!
“Pengobatan bisa dilakukan di rumah, yang Anda perlu lakukan hanyalah meminumnya 2 kali sehari selama 3-6 minggu. Anda akan merasakan peningkatan kondisi penglihatan dalam waktu beberapa hari setelah dimulainya pengobatan”, mengutip salah satu penandatangan surat terbuka di atas.